Rabu, 28 Oktober 2009

Aids Haroqi:apa kabar HAtimu?


RESENSI BUKU ROBOHNYA DAKWAH DI TANGAN DAI KARYA FATHI YAKAN

Oleh : Dina Hanugrah W

Buku ini berjudul asli Ihdzaru Al-Aids Al-Haraki, yang diterjemahkan menjadi : “Hati-hatilah Terhadap Aids Gerakan”. Karya Fathi Yakkan diproduksi oleh Intermedia. Maksudnya, agar kita hati-hati terhadap atau penyakit atau virus-virus yang membahayakan gerakan dakwah.

Gerakan dakwah sesungguhnya telah demikian marak digerakkan para aktivitasnya. Lembaga dakwah dengan berbagai kecenderungan di mana-mana, baik yang secara formal maupun yang tidak formal. Semua itu tentu realitas yang menggembirakan. Namun bersamaan dengan maraknya gerakan dakwah itu muncul pula realitas lain yang potensial menghambat laju gerakan dakwah itu sendiri. Realitas itu banyak yang justru lahir dalam sendiri.

Ternyata umat belum bisa bersatu dalam mempersepsi persoalan. Keragaman itu lahir dari ragamnya cara pandang dan pemikiran tentang dakwah. Berikutnya gerakan dakwah pun hadir dalam format yang bermacam-macam, visi yang aneka warna, dan orientasi yang bervariasi, meskipun semua mengusung semangat Islam sebagai tujuan akhirnya.

Sebenarnya ragam pendapat dan pemikiran itu sendiri merupakan persoalan yang ada semenjak zaman dahulu. Para sahabat berbeda pendapat tentang beberapa persoalan dan Rasulullah tidah mengganggunya sebagai hal yang negatif. Rahasianya apalagi kalau bukan kenyataan bahwa Rasulullah SAW berhasil menanamkan prinsip akidah dan akhlah demikian kuat dalam dada hingga mampu menjadikan persoalan perbedaan pendapat sebagai realitas manusiawi yang tidak berpengaruh terhadap prinsip dasar itu. Itulah didikan Rasulullah SAW.

Tampaknya itulah yang kini menjadi barang langka. Biasanya sebuah gerakan dibangun pertama kali dengan landasan loyalitas kepada lembaga. Setelah itu bahkan pembinaan keislamannya secara murni tidak berlangsung dengan baik. Akhirnya fanatisme kepada golongan lebih dominan muncul daripada pembelaan terhadap akidah dan keimanan.

Orang sering berkata bahwa keragaman institusi Islam yang sekarang sebuah realitas positif belaka, agar menjadi media persaingan yang sehat. Sampai batas tertentu pendapat ini bisa dibenarkan. Namun realitas juga yang menjawab bahwa sungguh keragaman yang terus terjadi dan tak kunjung bisa disatukan ini telah melemahkan kekuatan Islam. Umat yang besar ini ternyata tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi berbagai tentang besar yang dihasilkan dari konspirasi berbagai kekuatan. Tantangan itu hadir melalui wilayah kebudayaan, pemikiran, dan bahkan militer.

Inilah sebagian yang disorot oleh Syaikh Fathi Yakan dalam buku ini. Selain mengingatkan kita tentang beberapa ”virus” yang menggerogoti banngunan dakwah, penulis memberikan beberapa konsep solusi agar berbagai penyakit itu bisa diminimalisasikan, atau ditiadakan sama sekali.

Aku gemakan sebuah gaung kewaspadaan terhadap kerusakan yang melingkupi dan bahaya yang mengancam. Itulah wabah Aids Haraki yang menggerogoti bangunan harakah dan tanzhim serta menghacurkannya menjadi puing. Sebuah wabah yang diingatkan Al-Qur’an dengan tegas: “…dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatan…”

Maka adakah yang menyambut gema ini? Saya berharap demikian. Allah sajalah yang memberi pertolongan dan kepada-Nya lah kita bertawakkal.

Aids adalah kondisi ketika seseorang mengalami kehilangan daya kekebalan tubuh, sehingga menjadi sangat rentan terhadap berbagai penyakit. Dan karena virus HIV yang menyebabkan penyakit AIDS ini belum ditemukan obatnya hingga saat ini, para pengidap HIV/AIDS pada umumnya akan segera mengalami kematian secara mengenaskan.

Dalam bukunya yang berjudul Ihdzaruu Al-Aids Al-Haraky (1989), Ustadz Fathi Yakan secara khusus menyoroti kasus kehancuran harakah (gerakan) dan tanzhim (organisasi) dakwah di Libanon. Pada saat yang sama beliau juga menemukan fenomena yang sama sedang terjadi di sebagian negeri-negeri muslim lainnya.

Menurut pendapat beliau, kasus-kasus kehancuran organisasi dakwah yang berawal dari melemahnya daya tahan internal organisasi mereka, seringkali terjadi di saat mereka berada pada mihwar siyasi (orbit politik), yaitu saat gerakan Islamiyah memasuki wilayah politik untuk menyempurnakan wilayah amal dan pencapaian sasaran dakwahnya.

Mengapa begitu? Apakah masuknya gerakan dakwah Islam ke dalam wilayah politik adalah suatu kekeliruan? Tentu saja tidak! Karena syumuliyatul-Islam (sifat kemenyeluruhan ajaran Islam) mengharuskan politik sebagai bagian tak terpisahkan dari Islam. Dan syumuliyatud-da’wah menuntut kita untuk memasuki wilayah politik.

Lalu bagaimana suatu gerakan dakwah bisa terjangkiti penyakit aids dan kemudian mengalami kehancuran? Dalam analisisnya, Ustadz Fathi Yakan menyebutkan tujuh faktor yang menyebabkan semua ini.

Faktor penyebab pertama, hilangnya manna’ah i’tiqadiyah (imunitas keyakinan) dan tidak tegaknya bangunan dakwah di atas pondasi fikrah dan mabda’ yang benar dan kokoh. Dampak yang timbul dari faktor ini di antaranya adalah tidak tegaknya organisasi dakwah di atas fikrah yang benar dan kokoh. Adakalanya sebuah organisasi hanya berwujud tanzhim ziami, yaitu bangun organisasi yang tegak di atas landasan loyalitas kepada seorang pemimpin yang diagungkan. Ada lagi yang berupa tanzhim syakhshi, yaitu bangun organisasi yang dibangun di atas bayangan figur seseorang. Yang lain berupa tanzhim mashlahi naf’i yaitu bangun organisasi yang berorientasi mewujudkan tujuan materi semata. Dengan begitu, jadilah bangunan organisasi dakwah tadi begitu lemah dan rapuh. Tidak mampu menghadapi kesulitan dan tantangan. Akhirnya goncanglah ia dan bercerai-berailah barisannya, sehingga muncul berbagai tragedi yang menimpanya.

Faktor penyebab kedua, rekruting berdasarkan kuantitas, dimana bilangan dan jumlah personil menjadi demikian menyibukkan dan menguras perhatian qiyadah (pemimpin) dakwah. Dengan anggapan bahwa jumlah yang banyak itu menjadi penentu kemenangan dan kejayaan. Kondisi ini memang seringkali mendapatkan pembenarannya ketika sebuah gerakan dakwah tampil secara formal sebagai partai politik. Orientasi kepada rekruting kuantitas – pada sisi lain – akan memudahkan pihak-pihak tertentu menciptakan qaidah sya’biyah atau basis dukungan sosial untuk kepentingan realisasi tujuan-tujuannya. Dalam situasi tertentu bisa muncul figur atau tokoh-tokoh tertentu dalam gerakan dakwah yang memperjuangkan kepentingannya dengan memanfaatkan qaidah sya’biyah yang dibangunnya. Pada saat seperti inilah, qaidah sya’biyah ini bisa berdiri sebagai musuh bagi gerakan dakwah.

Faktor penyebab ketiga, bangunan organisasi dakwah tergadai oleh pihak luar. Baik tergadai oleh sesama organisasi dakwah, organisasi politik, maupun negara. Boleh jadi juga tergadai oleh basis-basis kekuatan yang ada di sekelilingnya; baik secara politis, ekonomi, keamanan, atau keseluruhan dari unsur-unsur ini. Akibatnya, bangun organisasi dakwah tadi kehilangan potensi cengkeram, kabur orientasi, dan arah politiknya. Jadilah ia sebuah organisasi yang diperalat bagi kepentingan pihak lain, meskipun terkadang ia sendiri bisa mendapatkan kepentingannya dengan cara itu.

Faktor penyebab keempat, tergesa-gesa ingin meraih kemenangan meskipun tidak diimbangi dengan sarana yang memadai, dalam kondisi minimal sekalipun. Wilayah politik identik dengan pos-pos kekuasaan. Ada semangat pencarian dan pencapaian pos-pos kekuasaan yang pasti dilakukan oleh setiap pelaku politik. Dan semua itu akan berlangsung
seperti tidak ada ujung akhirnya. Kekuasaan, di manapun – menurut Ustadz Fathi Yakan – kemampuannya membagi ghanimah (harta) kepada aparat sebanding dengan potensinya menderita kerugian. Bahkan ghanimah yang telah diperoleh itu terkadang justru melahirkan cobaan dan bencana bagi gerakan dakwah. Pemicunya adalah sengketa dalam pembagiannya; antar personil, personil dengan pemimpin serta penguasa yang berambisi mendapatkan bagian terbanyak. Sesungguhnya, kajian yang jernih terhadap faktor-faktor yang mengantarkan beberapa hizb (partai) meraih kekuasaannya atas berbagai wilayah di dunia, mampu mengungkap sejauh-mana dampak negatif bahkan bahaya yang dihadapi oleh hizb tadi. Dampak negatif tadi antara lain berupa keruntuhan dan kehancurannya, serta terpecah-belahnya hizb itu menjadi kepingan, kehilangan prinsip dan orientasi, yang akhirnya mengantarkannya menjadi sebuah kelompok yang mengejar kepentingan hawa nafsu dan materi duniawi semata.

Faktor penyebab kelima, munculnya sentra-sentra kekuatan, aliran, dan sayap-sayap gerakan dalam tubuh gerakan dakwah. Kebanyakan bangunan organisasi dakwah yang mengalami pertikaian dan perselisihan berpotensi melahirkan hal-hal di atas. Sebuah gerakan dakwah, apa saja namanya, apabila memiliki ta’addudul wala’ (multi loyalitas) dan dikendalikan oleh beragam kekuatan, tidak tunduk kepada qiyadah (kepemimpinan) tunggal, di mana hati para personil dan para mas’ul-nya tidak terhimpun pada seseorang yang dipercaya, maka ia menjadi gerakan dakwah yang potensial melahirkan pertikaian, berebut pengaruh dan kekuasaan untuk meraih ambisi-ambisi pribadi.

Faktor penyebab keenam, campur-tangan pihak luar. Di zaman sekarang, faktor-faktor ini telah begitu dominan mempengaruhi dunia. Kekuatan siyasiyah (politik), fikriyah (pemikiran), asykariyah (militer), dan jasusiyah (intelejen) yang beraneka ragam dikerahkan untuk memukul seterunya dengan target kehancuran bangunan organisasi dakwah. Hal ini dilakukan melalui deteksi cermat terhadap titik lemah, kemudian menawarkan “dukungan”, setelah itu dipukul hancur. Pintu masuk menuju ke sana memang sangat banyak. Adakalanya melalui pintu siyasah, yaitu dengan menawarkan berbagai kemaslahatan politik. Terkadang melalui pintu maliyah, dengan jalan menutup kebutuhan finansial. Lain kali melalui pintu amniyah, yaitu dengan menjanjikan perlindungan keamanan. Hal-hal itu dilakukan satu per satu atau secara bersama-sama. Kapankah kekuatan eksternal bisa masuk ke dalam tubuh organisasi dakwah? Yaitu ketika bangunan organisasi dakwah secara umum mengalami kelemahan; keringnya ruh akidah, baik di tingkat personil anggota maupun level pemimpinnya, dan beratnya beban maddiyah (materi) maupun ma’nawiyah (moril) yang harus dipikul. Jadilah ia sebuah bangunan organisasi rapuh yang pintu-pintunya terkuak. Orang pun dengan leluasa masuk ke dalamnya untuk mewujudkan ambisi mereka dengan seribu satu cara.

Faktor penyebab ketujuh, lemah atau bahkan tidak adanya wa’yu siyasi (kesadaran politik). Sebuah gerakan dakwah Islam – di mana saja - apabila tidak memiliki wa’yu siyasi yang tinggi dan baik, tidak akan bisa hidup mengimbangi zaman; tidak memahami kejadian yang ada di sekelilingnya, terkecoh oleh fenomena permukaan, lupa mengkaji apa di
balik peristiwa, tidak mampu merumuskan kesimpulan-kesimpulan dari berbagai peristiwa global, tidak bisa membuat footnote setelah membaca teks, tidak mampu meletakkan kebijakan politik lokal berdasarkan kondisi-kondisi politik internasional, dan lain-lain kepekaa. Apabila sebuah gerakan dakwah memiliki kelemahan seperti itu, di saat mana arah politik demikian tumpang-tindih dan keserakahan demikian merajalela, yang tampak di permukaan tidak lagi sebagaimana isinya, maka ia akan menjadi organisasi gerakan dakwah yang langkahnya terseok-seok, sikap-sikapnya kontradiktif, dan mudah terbawa arus. Apabila sudah demikian, datanglah sang penghancur untuk memutuskan hukuman mati atasnya.

Ada hal penting dan mendasar dari analisis lanjutan Ustadz Fathi Yakan yaitu, semua faktor yang dipaparkan di atas adalah buah dari pohon “politik mendominasi tarbiyah”. Iklim atau munakh dalam gerakan dakwah lebih kental politik, yang bahkan sangat mempengaruhi bangunan sikap-perilaku jajaran kader dan para pemimpinnya.

Saya hanya dapat menyimpulkan, bukan tidak mungkin kisah kekhalifahan Umar bin Khotob terrulang di abad milenium ini. Seperti pada waktu itu, ekspansi Umar yang begitu sukses dengan segudang prestasi pada masa ke Khalifahannya, selain itu Umar juga berhasil menelurkan konsep-konsep baru, seperti menghimpun Al-qur’an dalam bentuk mushaf, menetapkan tahun hijriyah sebagai kalender umat Islam, membentuk kas negara (Baitul Maal), menyatukan orang-orang yang melakukan sholat sunah tarawih dengan satu imam, menciptakan lembaga peradilan, membentuk lembaga perkantoran, membangun balai pengobatan, membangun tempat penginapan, memanfaatkan kapal laut untuk perdagangan, menetapkan hukuman cambuk bagi peminum khamr (minuman keras) sebanyak 80 kali cambuk, mencetak mata uang dirham, audit bagi para pejabat serta pegawai dan juga konsep yang lainnya. Dan expansinya sudah ke Persia, Mesir, Syam, Irak, Burqah, Tipoli bagian barat, Azerbaijan, Jurjan, Basrah, Kufah dan Kairo.

Ada sekian banyak wasilah yang terbentuk, kekuasaan yang juga semakin besar. Sampai pada akhirnya, bahkan Madinah tempat umar bermukimpun berada dalam kondisi yang kacau dan sangat kompleks. Pada waktu itu Kekayaan yang masuk madinah sangat melimpah, jumlah penduduk meningkat sangat drastis pula. disamping itu kondisi persenjataan pasukan di Irak waktu itu sangat Dinamis, krena digunakan untuk menembus IMPERIUM terbesar dunia (ROMAWI).

Yang ingin saya soroti dengan memaparkan kisah di atas adalah, kondisi yang terjadi pada masa kekhalifahan umar hampir mirip dengan kondisi dakwah kita sekarang. Dan kekuasaan seringkali menjebak kita dalam kefasikan. Maka dari itu, hanya kemurnian cita- cita dakwahlah yang dapat menyelamatkan kita dari jalan syaithon. Menjadikan Alloh sebagai tujuan, Rosul sebagai panutan, Al-Qur’an sebagai tuntunan, Jihad sebagai jalan hidup, dan Syurga sebagai cita- cita tertinggi.

Wa’allohualan bi showab. Semoga Alloh tetap melindungi kita dari segala tipu daya shaithon dan menetapkan kita istiqomah di jalan-Nya. Amin.